Pada
bulan Sya’ban terdapat malam yang mulia dan penuh berkah yaitu malam Nishfu
Sya’ban. Di malam ini Allah Subhanahu wata’ala mengampuni orang-orang yang
meminta ampunan, mengasihi orang-orang yang minta belas kasihan, mengabulkan
doa orang-orang yang berdoa, menghilangkan kesusahan orang-orang yang susah,
memerdekakan orang-orang dari api neraka, dan mencatat bagian rizki dan amal
manusia.
Para ulama menamai malam Nishfu Sya’ban dengan beragam nama. Banyaknya nama-nama ini mengindikasikan kemuliaan malam tersebut.
© Rifai's Blog "http://rifai17.blogspot.com" Published by Rifai Yusuf
Banyak
Hadits yang menerangkan keistimewaan malam Nishfu Sya’ban ini, sekalipun di
antaranya ada yang dlo’if (lemah), namun Al Hafidh Ibn Hibban telah menyatakan
kesahihan sebagian Hadits-Hadits tersebut, di antaranya adalah: “Nabi Muhammad
Shollallhu alaihi wasallam bersabda, “Allah melihat kepada semua makhluknya
pada malam Nishfu Sya’ban dan Dia mengampuni mereka semua kecuali orang yang
musyrik dan orang yang bermusuhan.” (HR. Thabarani dan Ibnu Hibban).
Para ulama menamai malam Nishfu Sya’ban dengan beragam nama. Banyaknya nama-nama ini mengindikasikan kemuliaan malam tersebut.
1. Lailatul
Mubarokah (malam yang penuh berkah).
2. Lailatul
Qismah (malam pembagian rizki).
3. Lailatut
Takfir (malam peleburan dosa).
4. Lailatul
Ijabah (malam dikabulkannya doa)
5. Lailatul
Hayah walailatu ‘Idil Malaikah (malam hari rayanya malaikat).
6. Lalilatus
Syafa’ah (malam syafa’at)
7. Lailatul
Baro’ah (malam pembebasan). Dan masih banyak nama-nama yang lain.
Pro dan Kontra Seputar Nishfu Sya’ban
Al
Hafidh Ibn Rojab al Hambali dalam kitab al Lathoif mengatakan,
“Kebanyakan
ulama Hadits menilai bahwa Hadits-Hadits yang berbicara tentang malam Nishfu
Sya’ban masuk kategori Hadits dlo’if (lemah), namun Ibn Hibban menilai
sebagaian Hadits itu shohih, dan beliau memasukkannya dalam kitab shohihnya.”
Ibnu
Hajar al Haitami dalam kitab Addurrul Mandlud mengatakan,
“Para
ulama Hadits, ulama Fiqh dan ulama-ulama lainnya, sebagaimana juga dikatakan
oleh Imam Nawawi, bersepakat terhadap diperbolehkannya menggunakan Hadits
dlo’if untuk keutamaan amal (fadlo’ilul amal), bukan untuk menentukan hukum,
selama Hadits-Hadits itu tidak terlalu dlo’if (sangat lemah).”
Jadi,
meski Hadits-Hadits yang menerangkan keutamaan malam Nishfu Sya’ban disebut
dlo’if (lemah), tapi tetap boleh kita jadikan dasar untuk menghidupkan amalam
di malam Nishfu Sya’ban.
Kebanyakan
ulama yang tidak sepakat tentang menghidupkan malam Nishfu Sya’ban itu karena
mereka menganggap serangkaian ibadah pada malam tersebut itu adalah bid’ah,
tidak ada tuntunan dari Nabi Muhammad Shollallahu alaihi wasallam. Sedangkan
pengertian bid’ah secara umum menurut syara’ adalah sesuatu yang bertentangan
dengan Sunnah. Jika demikian secara umum bid’ah itu adalah sesuatu yang tercela
(bid’ah sayyi’ah madzmumah). Namun ungkapan bid’ah itu terkadang diartikan
untuk menunjuk sesuatu yang baru dan terjadi setelah Rasulullah wafat yang
terkandung pada persoalan yang umum yang secara syar’i dikategorikan baik dan
terpuji (hasanah mamduhah).
Imam
Ghozali dalam kitab Ihya Ulumiddin Bab Etika Makan mengatakan,
“Tidak
semua hal yang baru datang setelah Nabi Muhammad Shollallahu alaihi wasallam
itu dilarang. Tetapi yang dilarang adalah memperbaharui sesuatu setelah Nabi
(bid’ah) yang bertentangan dengan sunnah. Bahkan menurut beliau, memperbaharui
sesuatu setelah Rasulullah (bid’ah) itu terkadang wajib dalam kondisi tertentu
yang memang telah berubah latar belakangnya.”
Imam
Al Hafidh Ibn Hajjar berkata dalam Fathul Barri,
“Sesungguhnya
bid’ah itu jika dianggap baik menurut syara’ maka ia adalah bid’ah terpuji
(mustahsanah), namun bila oleh syara’ dikategorikan tercela maka ia adalah
bid’ah yang tercela (mustaqbahah). Bahkan menurut beliau dan juga menurut Imam
Qarafi dan Imam Izzuddin ibn Abdis Salam bahwa bid’ah itu bisa bercabang
menjadi lima hukum.”
Syeh
Ibnu Taimiyah berkata,
“Beberapa
Hadits dan atsar telah diriwayatkan tentang keutamaan malam Nisyfu Sya’ban,
bahwa sekelompok ulama salaf telah melakukan sholat pada malam tersebut. Jadi
jika ada seseorang yang melakukan sholat pada malam itu dengan sendirian, maka
mereka berarti mengikuti apa yang dilakukan oleh ulama-ulama salaf dulu, dan
tentunya hal ini ada hujjah dan dasarnya. Adapun yang melakukan sholat pada
malam tersebut secara jamaah itu berdasar pada kaidah ammah yaitu berkumpul
untuk melakukan ketaatan dan ibadah.”
Walhasil,
sesungguhnya menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan serangkaian ibadah itu
hukumnya sunnah (mustahab) dengan berpedoman pada Hadits-Hadits di atas. Adapun
ragam ibadah pada malam itu dapat berupa sholat yang tidak ditentukan jumlah
rakaatnya secara terperinci, membaca Al Quran, dzikir, berdo’a, membaca tasbih,
membaca sholawat Nabi (secara sendirian atau berjamaah), membaca atau
mendengarkan Hadits, dan lain-lain.
Tuntunan Nabi di Malam Nisyfi Sya’ban
Rasulullah
telah memerintahkan untuk memperhatikan malam Nisyfi Sya’ban, dan bobot
berkahnya beramal sholeh pada malam itu diceritakan oleh Sayyidina Ali
Rodliallahu anhu, Rasulullah Shollallahu alaihi wasallam bersabda:
“Jika
tiba malam Nisyfi Sya’ban, maka bersholatlah di malam harinya dan berpuasalah
di siang harinya karena sesungguhnya Allah Subhanahu wata’ala menurunkan
rahmatnya pada malam itu ke langit dunia, yaitu mulai dari terbenamnya
matahari. Lalu Dia berfirman, ‘Adakah orang yang meminta ampun, maka akan Aku
ampuni? Adakah orang meminta rizki, maka akan Aku beri rizki? Adakah orang yang
tertimpa musibah, maka akan Aku selamatkan? Adakah begini atau begitu? Sampai
terbitlah fajar.’” (HR. Ibnu Majah)
Malam
Nishfu Sya’ban atau bahkan seluruh bulan Sya’ban sekalipun adalah saat yang
tepat bagi seorang muslim untuk sesegera mungkin melakukan kebaikan. Malam itu
adalah saat yang utama dan penuh berkah, maka selayaknya seorang muslim
memperbanyak aneka ragam amal kebaikan. Doa adalah pembuka kelapangan dan kunci
keberhasilan, maka sungguh tepat bila malam itu umat Islam menyibukkan dirinya
dengan berdoa kepada Allah Subhanahu wata’ala. Nabi Muhammad Shollallahu alaihi
wasallam mengatakan,
“Doa
adalah senjatanya seorang mukmin, tiyangnya agama dan cahayanya langit dan
bumi.” (HR. Hakim).
Nabi
Muhammad Shollallahu alaihi wasallam juga mengatakan,
“Seorang
muslim yang berdoa -selama tidak berupa sesuatu yang berdosa dan memutus
famili-, niscaya Allah Subhanahu wata’ala menganugrahkan salah satu dari ketiga
hal, pertama, Allah akan mengabulkan doanya di dunia. Kedua, Allah baru akan
mengabulkan doanya di akhirat kelak. Ketiga, Allah akan menghindarkannya dari
kejelekan lain yang serupa dengan isi doanya.” (HR. Ahmad dan Barraz).
Tidak
ada tuntunan langsung dari Rasulullah Shollallahu alaihi wasallam tentang doa
yang khusus dibaca pada malam Nishfu Sya’ban. Begitu pula tidak ada petunjuk
tentang jumlah bilangan sholat pada malam itu. Siapa yang membaca Al Quran, berdoa, bersedekah dan beribadah yang lain
sesuai dengan kemampuannya, maka dia termasuk orang yang telah menghidupkan malam
Nishfu Sya’ban dan ia akan mendapatkan pahala sebagai balasannya.
Adapun
kebiasaan yang berlaku di masyarakat, yaitu membaca Surah Yasin tiga kali,
dengan berbagai tujuan, yang pertama dengan tujuan memperoleh umur panjang dan
diberi pertolongan dapat selalu taat kepada Allah. Kedua, bertujuan mendapat
perlindungan dari mara bahaya dan memperoleh keluasaan rikzi. Dan ketiga,
memperoleh khusnul khatimah (mati dalam keadaan iman), itu juga tidak ada yang
melarang, meskipun ada beberapa kelompok yang memandang hal ini sebagai langkah
yang salah dan batil.
Dalam
hal ini yang patut mendapat perhatian kita adalah beredarnya tuntunan-tuntunan
Nabi tentang sholat di malam Nishfu sya’ban yang sejatinya semua itu tidak
berasal dari beliau. Tidak berdasar dan bohong belaka. Salah satunya adalah
sebuah riwayat dari Sayyidina Ali,
“Bahwa
saya melihat Rasulullah pada malam Nishfu Sya’ban melakukan sholat empat belas
rekaat, setelahnya membaca Surat Al Fatihah (14 x), Surah Al Ikhlas (14 x),
Surah Al Falaq (14 x), Surah Annas (14 x), ayat Kursi (1 x), dan satu ayat
terkhir Surat At Taubah (1 x). Setelahnya saya bertanya kepada Baginda Nabi
tentang apa yang dikerjakannya, Beliau menjawab, “Barang siapa yang melakukan
apa yang telah kamu saksikan tadi, maka dia akan mendapatkan pahala 20 kali
haji mabrur, puasa 20 tahun, dan jika pada saat itu dia berpuasa, maka ia
seperti berpuasa dua tahun, satu tahun yang lalu dan setahun yang akan datang.”
Dan
masih banyak lagi Hadits-Hadits palsu lainnya yang beredar di tengah-tengah kaum
muslimin. (Disarikan dari “Madza fi Sya’ban”, karya Sayyid Muhammad bin Alawi
Al Maliki, Muhadditsul Haromain).
Disadur
dar: http://langitan.net/?p=94
Oleh:
H. Ahsan Ghozali
*
Staf pengajar PP. Langitan Widang Tuban. Alumni Sayyid Muhammad bin Alawi
al-Maliki Makkah
Wallahu’alam,
semoga bermanfaat.
© Rifai's Blog "http://rifai17.blogspot.com" Published by Rifai Yusuf
0 comments:
Post a Comment
© Rifai's Blog "http://rifai17.blogspot.com"
Published by Rifai Yusuf